Senin, 30 Oktober 2017

CERMIN RETAK SERIBU



Cermin Retak Seribu


Mustofa W. Hasyim


Pernahkah engkau merasa hari-hari
berubah menjadi cakrawala?
sunyi menancapkan tiang-tiang,
bendera membisu
jamur membusukkan percakapan
bisikan dan siul pergaulan.

Di rumah-rumah kampung dan desa
cermin diretakkan kecemasan
yang disembunyikan dalam tawa
dan canda cabul tak mengenal harga.

Benarah masih ada republik dan negara
ketika pasar bingung
menghanguskan impian
menghajar langkah-langkah bayi?

Ini sudah melewati masa tangis dan luka
mengharap pada lagu
pengembara waktu
melepaskan panah-panah bercahaya:
senyuman




Puisi tersebut menceritakan mengenai kehidupan rakyat Indonesia setelah kemerdekaan. Dimana mereka saat itu sudah dapat tersenyum dan mempunyai harapan terhadap masa depan. Namun, masih merasa pilu karena hidup mereka bagai masih dijajah oleh orang-orang mereka sendiri. Kehidupan mereka dihancurkan oleh bangsa sendiri, harapan-harapan generasi merekapun hilang. Kini mereka hanya berharap pada lagu seiring dengan berjalannya waktu. Berusaha kuat dengan terus memberikan senyuman.
Dalam mengutarakan puisi ini melalui musikalisasi kelompok kami memilih instrumen gitar, ember dan botol berisi beras. Instrumen-intrumen tersebut kami pilih untuk menambahkan kesan haru dalam puisi dan kesedihan yang dirasakan penulis. Pada bait pertama kami mengalunkan puisi tersebut melalui keheningan dengan tempo yang pelan sebagai awal cerita agar maknanya tersampaikan. Sampai pada kata ‘membisu’ kami berhenti menyanyikan puisi untuk memperlihtkan bahwa saat itu keadaan rakyat benar-benar membisu. Bait kedua, puisi dibacakan agar memperjelas keadaan rakyat saat itu. Pada bait ketiga, tempo kami percepat untuk menggambarkan rakyat yang marah dengan keadaan bangsa saat itu. Pada bait keempat kami sampaikan untuk menggambarkan bahwa dalam keadaan seburuk apapun rakyat Indonesia masih memiliki harapan, masih dapat tersenyum untuk menjemput masa depan.

See ya in my next artikel...